JAKARTA - Pasar keuangan global kembali menaruh perhatian pada Jepang setelah Bank of Japan bersiap mengambil langkah kebijakan penting menjelang akhir tahun. Di tengah upaya pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, bank sentral Jepang diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya ke level tertinggi dalam hampir tiga dekade.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa era kebijakan moneter super-longgar perlahan mulai ditinggalkan, meski tantangan ekonomi domestik dan global masih membayangi.
Dikutip dari CNBC, dalam rapat kebijakan terakhir tahun ini yang digelar Kamis.18 Desember 2025, Bank of Japan diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 0,75 persen. Data dari LSEG menunjukkan peluang kenaikan suku bunga mencapai 86,4 persen. Kebijakan ini dipandang sebagai kelanjutan dari proses normalisasi moneter yang telah dimulai sejak tahun lalu.
Normalisasi Kebijakan Moneter Jepang
Kenaikan suku bunga yang diperkirakan terjadi ini akan menjadi yang tertinggi sejak 1995. Bank of Japan menilai langkah tersebut diperlukan untuk merespons tekanan inflasi yang terus berada di atas target. Inflasi di Jepang tercatat telah melampaui target bank sentral selama 43 bulan berturut-turut, sebuah kondisi yang jarang terjadi dalam sejarah ekonomi negara tersebut.
Di sisi lain, kebijakan ini membawa konsekuensi yang tidak ringan. Kenaikan suku bunga berpotensi memperkuat nilai tukar yen terhadap dolar Amerika Serikat, sekaligus menahan laju inflasi. Namun, langkah tersebut juga dapat memperlambat proses pemulihan ekonomi Jepang yang masih rapuh pasca pandemi dan tekanan global.
Ekonomi Jepang dalam Tekanan Perlambatan
Data terbaru menunjukkan ekonomi Jepang pada periode Juli hingga September mengalami kontraksi yang cukup dalam. Produk domestik bruto tercatat menyusut 0,6 persen secara kuartalan dan 2,3 persen secara tahunan. Angka ini lebih buruk dibandingkan estimasi sebelumnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga justru dapat memperdalam perlambatan ekonomi.
Meski demikian, bank sentral tetap harus menyeimbangkan antara menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan. Pasca kenaikan suku bunga yang hampir pasti, perhatian pasar kini tertuju pada pernyataan Bank of Japan mengenai arah kebijakan selanjutnya. Sinyal yang disampaikan akan sangat menentukan reaksi pasar keuangan global.
Respons Pasar dan Sinyal Bank Sentral
Gregor M. A. Hirt, Chief Investment Officer Allianz Global Investors, mengatakan respons pasar akan sangat bergantung pada sinyal yang disampaikan terkait tingkat suku bunga netral. Tingkat ini dianggap sebagai posisi seimbang antara pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Gubernur Bank of Japan, Kazuo Ueda, sebelumnya menyebutkan bahwa tingkat suku bunga netral sulit dipastikan secara tepat dan diperkirakan berada pada kisaran 1 hingga 2,5 persen.
Meski belum ada kepastian, Bank of Japan tetap harus mengarahkan kebijakan moneternya di tengah berbagai ketidakpastian global. Dalam hal laju kenaikan suku bunga selanjutnya, bank-bank internasional memiliki pandangan yang berbeda. ING dan Bank of America memperkirakan waktu kenaikan berikutnya bisa terjadi mulai April, Juni, hingga Oktober 2026.
Dampak Global dan Risiko Ke Depan
Selain faktor domestik, risiko perlambatan ekonomi Amerika Serikat serta ketegangan hubungan antara Jepang dan China turut memengaruhi jalur normalisasi kebijakan moneter. Dari sisi pasar obligasi dan valuta asing, nilai tukar yen yang melemah terhadap dolar sejak November 2025 juga menjadi perhatian utama pelaku pasar.
Yen saat ini bergerak di kisaran 154 hingga 157 yen per dolar Amerika Serikat, melemah lebih dari 2,5 persen sejak Perdana Menteri baru Jepang, Sanae Takaichi, yang dikenal mendukung kebijakan moneter longgar, mulai menjabat pada Oktober. Kondisi ini menambah kompleksitas keputusan bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
Kenaikan suku bunga juga berpotensi meningkatkan biaya pinjaman pemerintah Jepang yang tengah meluncurkan stimulus fiskal terbesar sejak pandemi Covid-19.
Biaya bunga pemerintah diperkirakan bisa meningkat dua kali lipat apabila imbal hasil obligasi acuan mencapai 2,5 persen dari sekitar 2 persen saat ini. Hingga kini, pemerintah Jepang belum menutup kemungkinan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing guna menstabilkan pergerakan yen.